KENDARI, Kongkritpost.com– Survei terbaru yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengenai elektabilitas calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) memicu kontroversi dan kecurigaan di tengah publik. Hasil survei yang menunjukkan perbedaan mencolok dibandingkan survei-survei sebelumnya menimbulkan pertanyaan tentang validitas dan netralitasnya.
Dalam survei LSI Denny JA yang dirilis awal Agustus, pasangan Andi Sumangerukka (ASR) dan Hugua berada di puncak elektabilitas dengan 36,3 persen, jauh di atas pasangan Tina Nur Alam dan LM Ihsan Ridwan yang hanya mendapatkan 26 persen. Hasil ini bertolak belakang dengan survei-survei lain yang justru menempatkan Tina Nur Alam di posisi teratas ujar Rabu (4/9/2024)
Survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang dilakukan pada 18-30 Juli, misalnya, menempatkan Tina Nur Alam di peringkat pertama dengan 33 persen, unggul 4,6 persen dari ASR yang hanya meraih 28,4 persen. Bahkan, JSI (Jaringan Suara Indonesia) yang melakukan survei pada 9-17 Juli menunjukkan Tina Nur Alam unggul dengan 39,3 persen, sementara ASR mendapatkan 33,6 persen.
Perbedaan lebih dari 10 persen dalam survei LSI Denny JA dibandingkan dengan survei-survei lainnya yang dilakukan hampir bersamaan dianggap mencurigakan. Dalam dunia survei politik, perubahan signifikan dalam waktu 1-2 minggu jarang terjadi dan sering kali menimbulkan tanda tanya.
Nur Alam, mantan Gubernur Sultra dan politisi senior, mengungkapkan keraguannya terhadap hasil survei LSI Denny JA. “Selama saya menggunakan jasa lembaga survei sejak tahun 2017, saya belum pernah melihat perubahan elektabilitas sebesar 5-10 persen dalam hitungan 1-2 minggu. Ini janggal,” ujarnya.
Pandangan senada diungkapkan La Ode Basir, tokoh pemuda Kepulauan Buton yang telah berpengalaman dalam menggunakan jasa lembaga survei. “Sejak 2014, saya belum pernah menemukan selisih hasil survei antar lembaga yang mencapai lebih dari 10 persen dalam waktu berdekatan. Biasanya, selisihnya hanya 3-5 persen,” ungkapnya. Ia juga menekankan pentingnya memeriksa kapan survei dilakukan dan bagaimana distribusi sampelnya, karena hal ini sangat mempengaruhi hasil.
Selain itu, La Ode Basir memperingatkan bahwa jika lembaga survei juga bertindak sebagai konsultan politik bagi salah satu calon, hasil survei bisa menjadi bias. “Hasil survei sering kali bukan sekadar refleksi situasi, tetapi juga alat untuk menggiring opini publik,” tambahnya.
Di sisi lain, Laode Harjudin, seorang dosen Ilmu Politik dari Universitas Halu Oleo, menyoroti faktor etnis dan kekuatan modal sebagai elemen kunci dalam elektabilitas calon di Sultra. Menurutnya, dalam politik Sultra, ikatan emosional seperti etnis dan kekeluargaan berperan besar dalam menentukan pilihan pemilih. “Jika survei tidak mempertimbangkan sebaran etnis secara menyeluruh, hasilnya bisa sangat berbeda dari kenyataan,” jelasnya. Ia juga menyoroti bahwa calon dengan dukungan finansial yang kuat cenderung memiliki kemampuan lebih besar untuk mempengaruhi opini publik.
Dengan perbedaan yang mencolok ini, masyarakat dan pengamat politik di Sultra semakin meragukan hasil survei LSI Denny JA, yang terlihat menyimpang dari tren survei lainnya. Konsistensi hasil survei yang menempatkan Tina Nur Alam di posisi teratas memperkuat dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam survei terbaru ini.
Dalam konteks ini, publik diharapkan semakin kritis dalam menilai hasil survei menjelang Pilgub Sultra 2024. Survei harus mencerminkan kenyataan, bukan alat manipulasi untuk menguntungkan salah satu pihak.
Dengan kontroversi ini, hasil survei LSI Denny JA menjadi sorotan utama dalam perdebatan politik Sultra, menjelang kontestasi yang semakin panas menuju Pilgub 2024( Usman)