KENDARI, Kongkritpost.com– Kasus dugaan mafia tanah terus menjadi perhatian publik di Sulawesi Tenggara. Salah satu kasus yang mencuat adalah sengketa lahan yang menimpa mertua Edi Sartono, warga Kelurahan Abeli Dalam, Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari.
Edi Sartono menegaskan bahwa aparat penegak hukum (APH) di Sulawesi Tenggara harus serius dalam memberantas praktik mafia tanah. Ia menyatakan bahwa keberadaan mafia tanah tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menyebabkan penderitaan bagi masyarakat luas.
Edi Sartono mengapresiasi langkah tegas yang telah diambil oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang bekerja sama dengan Polda Sulawesi Tenggara dan Kejaksaan Tinggi Sultra dalam memerangi mafia tanah.
“Langkah konkret yang telah diambil oleh APH sangat kami apresiasi. Namun, kami juga berharap ada ketegasan lebih lanjut, terutama dalam kasus yang menimpa keluarga kami,” ujar Edi Sartono pada Rabu (26/2/2025).
Edi Sartono mengungkapkan bahwa dirinya dan keluarganya merasa menjadi korban kriminalisasi oleh oknum tertentu dalam kasus sengketa tanah yang mereka alami.
Menurutnya, mafia tanah memiliki berbagai modus operandi, termasuk pemalsuan dokumen, kolusi dengan oknum aparat, hingga rekayasa perkara untuk menguasai tanah orang lain secara ilegal. Ia menilai kasus yang dialami mertuanya, Hasan, merupakan contoh nyata bagaimana praktik mafia tanah beroperasi di Sulawesi Tenggara.
“Tanah yang dipersengketakan jelas berada di Abeli Dalam, Kecamatan Puuwatu. Surat tanah yang dimiliki oleh mertua saya diterbitkan oleh Kepala Kelurahan Abeli Dalam, dengan saksi dari Ketua RW 001, Ketua RW 002, serta pemilik tanah sebelumnya. Sementara itu, pihak yang mengklaim tanah ini memiliki dokumen yang administrasinya diterbitkan di Lepo-lepo, tanpa saksi yang valid,” jelas Edi Sartono.
Ia pun mempertanyakan bagaimana mungkin Hasan justru ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Sultra, padahal dokumen tanahnya sah dan sesuai dengan administrasi yang berlaku.
Edi Sartono berharap di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pemberantasan mafia tanah dapat menjadi prioritas yang lebih serius.
“Kami rakyat kecil sering kali hanya bisa melapor, tetapi laporan kami seolah jalan di tempat. Kami berharap pemerintahan yang baru dapat memberikan perhatian khusus dalam menindak tegas mafia tanah dan memastikan keadilan bagi masyarakat,” harapnya.
Ia juga mengingatkan APH untuk bekerja secara profesional dan tidak takut menghadapi intervensi dari pihak-pihak yang mencoba menghambat penyelidikan kasus mafia tanah di Sulawesi Tenggara.
“Kami ingin kasus ini terang benderang. Siapa dalang di balik semua ini? Mengapa ada oknum penyidik dan jaksa yang seolah melupakan prosedur hukum dalam menangani kasus ini?” tegasnya.
*Menuntut Penegakan Hukum yang Adil*
Lebih lanjut, Edi Sartono menyoroti bahwa dokumen tanah lawan Hasan yang diterbitkan pada tahun 2013 hingga kini belum pernah ditunjukkan dalam bentuk asli. Dokumen tersebut disebut-sebut merupakan surat keterangan pengolahan tanah seluas 20 hektare yang diterbitkan oleh Kepala Desa Lepo-lepo pada tahun 1972, tetapi keasliannya masih dipertanyakan.
Menurut Edi Sartono, penanganan kasus ini oleh APH diduga telah melanggar beberapa regulasi, termasuk Peraturan Kapolri (Perkap) Pasal 61 dan 62, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 1 Tahun 1956, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 1980 dan Surat Panduan dalam sistim penuntutan yang dikeluarkan oleh Kejagung Nomor B-230/E/Ejp/01/2013.
“Oleh karena itu, kami meminta kejelasan dan keadilan. Jika ada mafia tanah yang bermain, maka harus dibasmi tanpa pandang bulu. Kami percaya bahwa hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa adanya intervensi dari pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan pribadi,” pungkas Edi Sartono.
Dengan berbagai kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini, masyarakat berharap aparat penegak hukum dapat menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas mafia tanah dan menegakkan keadilan bagi rakyat kecil( Usman)