KENDARI, Kongkritpost.com- Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) bagi PT. Gema Kreasi Perdana (PT. GKP) di Kabupaten Konawe Kepulauan (Wawonii) menjadi bara dalam sekam. Gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat, pemuda, dan mahasiswa di Sulawesi Tenggara semakin membesar, menuding pemerintah tebang pilih dalam menegakkan hukum dan menjadikan PT. GKP sebagai “anak emas” industri tambang.
Sejarah panjang perlawanan terhadap aktivitas tambang di Wawonii bukan sekadar aksi protes biasa, melainkan representasi ketidakadilan struktural yang terus berulang. Masyarakat, mahasiswa, dan aktivis lingkungan menolak eksploitasi sumber daya alam yang dinilai tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem pulau kecil tersebut.
Hebriyanto Moita, Koordinator APM se-Sultra, menegaskan bahwa seluruh aktivitas pertambangan di Konawe Kepulauan bertentangan dengan hukum yang berlaku dan putusan pengadilan. “PT. GKP dengan berbagai cara tetap mencari celah agar bisa terus beroperasi di Wawonii, padahal putusan Mahkamah Agung telah menolak uji materi RTRW dan putusan PTUN Jakarta telah membatalkan izin IPPKH mereka. Ini jelas bentuk pembangkangan hukum,” tegasnya dalam rilis pers pada Selasa (18/2/2025).
Putusan hukum yang berkali-kali memenangkan masyarakat Wawonii nyatanya belum cukup kuat untuk menghentikan ekspansi perusahaan tambang ini. Pada 2022, putusan PTUN Kendari menjadi dasar bagi warga untuk terus menolak tambang di daerah mereka. Setahun berselang, pada 2023, PTUN Jakarta membatalkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan terkait IPPKH PT. GKP karena izin tersebut dianggap kedaluwarsa lantaran perusahaan tidak melakukan aktivitas dalam dua tahun sejak izin diterbitkan.
Namun, meskipun telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, PT. GKP tetap beroperasi. Mahkamah Konstitusi bahkan telah menolak permohonan uji materi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diajukan perusahaan. “Ini bukan sekadar soal tambang, ini soal supremasi hukum di negeri ini. Jika hukum bisa diabaikan seperti ini, lalu di mana kepastian hukum bagi rakyat?” imbuh Hebriyanto.
Sekretaris APM se-Sultra, Reski Tamburaka, mengungkapkan bahwa aksi demonstrasi yang dilakukan selama ini telah mendapatkan respons dari berbagai instansi pemerintah. Salah satunya, Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara telah merekomendasikan pencabutan IPPKH PT. GKP, sesuai dengan perintah pengadilan.
“Bahkan, Asisten II Pemprov Sultra telah mengeluarkan berita acara bahwa mereka akan berkoordinasi dengan gubernur untuk berkomunikasi dengan pemerintah pusat agar percepatan pencabutan IUP di Wawonii bisa segera dilakukan,” ujar Reski.
Namun, di tengah berbagai desakan hukum dan sosial, pemerintah pusat masih bergeming. RKAB yang diterbitkan Menteri ESDM untuk PT. GKP seolah menjadi tamparan bagi supremasi hukum, menegaskan bahwa kepentingan modal lebih dominan daripada keadilan bagi rakyat dan lingkungan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT. GKP terkait tudingan bahwa mereka mengabaikan hukum dan tetap beroperasi meskipun izin mereka telah dibatalkan oleh pengadilan.
Gelombang perlawanan dipastikan belum akan mereda. Masyarakat Wawonii dan para aktivis lingkungan terus mendesak agar hukum benar-benar ditegakkan. Jika tidak, bukan hanya lingkungan yang terancam, tetapi kredibilitas hukum di negeri ini juga bisa ikut tergerus oleh kepentingan segelintir pihak( Red)