KENDARI, Kongkritpost.com- Proyek pembangunan kolam dan taman di lingkungan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tengah menjadi perhatian publik. Perkumpulan Pengawasan Independen Indonesia (Wasindo Sultra) mengungkap adanya dugaan ketidakterbukaan dalam pelaksanaan proyek tersebut, memunculkan pertanyaan mengenai transparansi dan legalitasnya.
Ketua Wasindo Sultra, La Ode Efendi, SH, menyatakan bahwa proyek tersebut diduga tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan. Bahkan, ia menilai ada indikasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau proyek yang tidak jelas asal-usulnya Tegas Efendi Jumat (14/3/2025)
“Pekerjaan ini tidak disertai papan informasi yang seharusnya mencantumkan sumber anggaran, nilai kontrak, dan pihak pelaksana. Ini menimbulkan dugaan bahwa proyek tersebut adalah proyek siluman—ada tetapi sulit dilacak asal-usulnya,” tegas La Ode Efendi.
*Laporan ke Polda Sultra*
Wasindo Sultra telah membawa dugaan ini ke ranah hukum. Pada Rabu, 12 Maret 2025, pukul 13.20 WIT, pihaknya menyerahkan tambahan bukti ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra, khususnya Subdit III Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Bukti yang diserahkan berupa satu unit flash disk berkapasitas 4 GB berisi rekaman video dialog berdurasi 19 menit 51 detik serta enam foto terkait proyek, yang terdiri dari lima foto kolam dan satu foto taman. Penerimaan bukti ini telah dikonfirmasi oleh pihak kepolisian dengan bukti tanda terima.
Menurut La Ode Efendi, proyek ini mulai menjadi sorotan sejak tidak ditemukannya papan informasi proyek, yang seharusnya mencantumkan sumber pendanaan, nilai kontrak, serta pihak pelaksana. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, proyek yang menggunakan anggaran negara wajib mempublikasikan informasi tersebut.
“Tidak ada kejelasan mengenai sumber anggaran dan pihak pelaksana proyek ini, sehingga patut dipertanyakan,” ujar Efendi.
Saat media mencoba mengonfirmasi kepada Plt Kepala Dinas Kehutanan Sultra, jawaban yang diberikan justru semakin menambah kebingungan publik. Salah satu staf dinas menyebut proyek tersebut bukan proyek resmi, melainkan hanya kegiatan gotong royong untuk membersihkan taman yang terdampak banjir.
Namun, ketika ditanya mengenai total anggaran gotong royong tersebut, staf tersebut hanya menjawab, “Saya kurang tahu ini.”
Pernyataan lain yang semakin memicu tanda tanya adalah klaim bahwa material seperti batu, pasir, dan semen berasal dari sumbangan, sementara dana untuk proyek disebut berasal dari urunan pegawai.
“Jawaban yang diberikan pihak dinas tidak konsisten dan semakin menimbulkan kecurigaan,” lanjut Efendi.
Wasindo Sultra meminta Ditreskrimsus Polda Sultra untuk segera mengusut proyek ini, termasuk memeriksa pejabat terkait guna mengklarifikasi sumber pendanaannya.
Selain masalah transparansi, Wasindo Sultra juga menyoroti dampak lingkungan dari proyek ini. Penggalian tanah dalam jumlah besar disebut telah mengubah struktur lahan hingga menyerupai kolam besar, yang diduga sebagai bentuk perusakan fasilitas negara.
“Tanah yang digali cukup luas, menimbulkan dugaan perusakan aset publik yang seharusnya dilindungi,” tambahnya.
Masyarakat kini menanti tindakan konkret dari aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan penyimpangan dalam proyek ini. Jika tidak segera ditindaklanjuti, kasus serupa dikhawatirkan akan terus berulang dan merusak prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara.
Bahkan, beredar spekulasi bahwa ada pihak berpengaruh di balik proyek ini.
“Kami menduga ada figur kuat yang bermain di balik proyek ini,” pungkas La Ode Efendi.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, Humas Polda Sultra menyatakan bahwa pihak Tipikor masih belum memberikan informasi resmi terkait perkembangan penyelidikan kasus ini( Usman)