KENDARI, Kongkritpost.com-Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Sulawesi Tenggara mengecam keras tindakan dugaan intimidasi yang dilakukan oleh Propam Polresta Kendari terhadap dua jurnalis, Samsul (Tribunnews Sultra) dan Nur Fahriansyah (Simpul Indonesia). Kedua jurnalis ini diduga dipaksa memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang anggota oknum kepolisian, Aipda Amiruddin.
Ketua IJTI Sultra, Saharuddin dalam rilisnya menyebutkan pada 3 Februari 2025, Samsul dan Nur Fahriansyah dipanggil untuk memberikan keterangan oleh penyidik Propam Polresta Kendari. Meskipun awalnya menolak, keduanya akhirnya menjalani pemeriksaan selama lima jam akibat dugaan tekanan yang diberikan oleh pihak kepolisian Tegasnya Sabtu (22/2/2025)
Tidak hanya itu, keduanya kemudian menerima surat panggilan resmi dengan nomor: Spg/06/II/Huk.12.10.1/2025/Sipropam, yang menegaskan posisi mereka sebagai saksi dalam kasus tersebut.
*Pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers*
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis memiliki Hak Tolak, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber yang dirahasiakan. Pasal 4 ayat (4) menyatakan bahwa Hak Tolak digunakan untuk melindungi sumber informasi dari segala bentuk tekanan hukum.
Penyidik seharusnya memahami bahwa jurnalis tidak dapat diminta memberikan keterangan selain dari yang telah disiarkan dalam pemberitaannya. Pemaksaan ini tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga merusak kepercayaan antara jurnalis dan narasumber.
*Pernyataan Sikap IJTI Sultra*
Menyikapi insiden ini, IJTI Sultra menyampaikan lima tuntutan:
Mengecam tindakan dugaan intimidasi oleh penyidik Propam Polresta Kendari terhadap jurnalis.
Mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara untuk mencopot Kapolresta dan Kasi Propam Polresta Kendari atas kegagalan menegakkan kode etik jurnalistik dan UU Pers.
Menuntut kepolisian mencabut surat panggilan terhadap jurnalis, karena karya jurnalistik merupakan kesaksian yang sah tanpa perlu diperiksa secara hukum.
Meminta Kapolresta Kendari untuk meminta maaf secara terbuka atas tindakan bawahannya.
Mengimbau seluruh jurnalis untuk tetap berpegang teguh pada kode etik jurnalistik dan UU Pers dalam menjalankan tugasnya.
*Kronologi Kejadian*
Kasus ini berawal pada 30 Januari 2025 ketika Samsul dan Nur Fahriansyah mewawancarai korban dugaan kekerasan seksual beserta suaminya. Sebelum menerbitkan berita, mereka telah berusaha mengonfirmasi pihak Propam Polda Sultra dan Aipda Amiruddin, namun tidak mendapat respons.
Pada 3 Februari 2025, setelah berita dipublikasikan, mereka dipanggil ke Propam Polresta Kendari. Awalnya, keduanya mengira pemanggilan ini terkait hak jawab dari kepolisian. Namun, sesampainya di kantor polisi, mereka malah dimintai keterangan dan mengalami dugaan tekanan agar memberikan informasi lebih lanjut mengenai narasumber mereka.
Mereka sempat menolak memberikan keterangan, tetapi diduga dipaksa oleh penyidik dengan dalih mencari informasi tambahan. Setelah pemeriksaan, mereka diminta menandatangani dokumen yang diklaim bukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tetapi hanya keterangan biasa.
Kemudian, pada 21 Februari 2025, mereka menerima surat panggilan resmi untuk diperiksa lebih lanjut sebagai saksi.
IJTI Sultra menegaskan bahwa kebebasan pers harus dilindungi dan jurnalis tidak boleh menjadi korban intimidasi dalam menjalankan tugasnya!( Man)