KENDARI, Kongkritpost.com-Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Penjabat (Pj) Bupati Buton Selatan (Busel), Ridwan Badallah, memicu polemik setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menerbitkan surat rekomendasi bernomor 8/22/200.1.4.11/1/2025. Surat tersebut, yang merupakan tindak lanjut aspirasi Taman Pemuda dan Mahasiswa Tolaki (TAMALAKI Sultra), mendapat kritikan keras dari tim kuasa hukum Ridwan Badallah, yakni Azwar Anas Muhammad, SH., MH., bersama partnernya, Dodi, SH.
Dalam wawancara di sebuah kafe di Kota Kendari pada Rabu, 15 Januari 2025, Azwar Anas menyampaikan bahwa keputusan DPRD Sultra tersebut dianggap terburu-buru dan tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
Ia menegaskan, pemberhentian seorang penjabat bupati harus mengacu pada Pasal 14 Ayat 2 Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa masa jabatan Pj. bupati adalah satu tahun, kecuali dalam dua kondisi: hasil evaluasi menteri menunjukkan kinerja yang buruk, atau penjabat tersebut ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara pidana.
“Sayangnya, DPRD Sultra tidak memberikan kesempatan bagi klien kami maupun pihak Pemda Busel untuk memberikan keterangan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP). Ini sangat kami sesalkan,” ujar Azwar Anas.
Ia menilai keputusan DPRD Sultra tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
“Proses hukum terhadap klien kami masih berupa laporan, belum ada penetapan tersangka. Namun DPRD langsung menyetujui rekomendasi pemberhentian, ini menunjukkan adanya indikasi kepentingan politik,” tambahnya.
Azwar Anas juga menyoroti bahwa berdasarkan Pasal 154 Ayat 1 Huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, usulan pemberhentian penjabat bupati adalah kewenangan DPRD kabupaten, bukan DPRD provinsi.
“Keputusan ini tidak hanya keliru, tetapi juga terkesan ada konspirasi politik di dalamnya,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika masalah ini berakar pada jabatan sebagai Pj. bupati, maka tidak relevan mengaitkannya dengan pencopotan Ridwan Badallah dari jabatan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadis Kominfo) Provinsi Sultra. Selain itu, hingga saat ini, Polres Metro Jakarta Timur belum memanggil Ridwan Badallah sebagai saksi atau menetapkan status hukum apa pun terkait dugaan kasus penganiayaan.
“Langkah DPRD Sultra sangat tergesa-gesa. Kami melihat ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap klien kami, yang diperburuk oleh pemberitaan media yang tidak seimbang,” tambah Azwar Anas.
Ia juga mengungkapkan bahwa Ridwan Badallah sebelumnya telah melaporkan dugaan pemerasan yang dilakukan oleh seorang bernama Irsan ke Polda Sultra melalui laporan polisi bernomor LP/279/IX/2024/SPKT/POLDA SULTRA pada 9 September 2024. Saat ini, tim kuasa hukum masih menunggu perkembangan proses hukum dari laporan tersebut.
“Sebagai kuasa hukum, kami meminta DPRD Sultra untuk meninjau kembali keputusan tersebut dan memastikan prosesnya dilakukan secara adil dan sesuai aturan hukum yang berlaku,” pungkas Azwar Anas( Usman)