KENDARI, Kongkritpost.com- Puluhan massa dari Perkumpulan Pengawasan Independen Indonesia (Wasindo Sultra) menggelar aksi demonstrasi di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kamis, 20 Februari 2025.
Aksi ini, menyoroti proyek pembangunan kolam dan taman yang berlangsung di lingkungan kantor dinas tersebut. Yang menjadi sorotan utama: proyek ini berjalan tanpa papan informasi yang jelas, menciptakan dugaan kuat adanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Fajar, orator aksi, menegaskan bahwa proyek ini seperti bayangan di tengah hutan—ada tetapi sulit dilihat asal-usulnya. Tidak ada papan informasi proyek, tidak ada transparansi terkait sumber anggaran, nilai kontrak, maupun pihak pelaksana pekerjaan.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, semua proyek yang menggunakan anggaran negara wajib mencantumkan informasi tersebut.
Saat dikonfirmasi, Kepala UPTD Dinas Kehutanan, Alimudin, menyatakan bahwa proyek ini tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia mengklaim bahwa pembangunan ini merupakan hasil sumbangan pegawai dinas yang dikoordinir oleh Plt. Kepala Dinas Kehutanan. “Tidak ada sumbangan dari pihak perusahaan. Ini murni swadaya,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Jika proyek ini memang hasil swadaya, mengapa tidak ada transparansi mengenai besaran dana yang terkumpul?
Bagaimana perhitungan anggaran untuk proyek tersebut? Jika benar proyek ini adalah swadaya, mengapa tetap tidak ada papan informasi yang menjelaskan hal tersebut?
Wasindo Sultra menuntut agar Gubernur Sulawesi Tenggara segera mencopot Plt. Kepala Dinas Kehutanan karena dinilai tidak transparan dalam pengelolaan proyek.
Selain itu, mereka mendesak Polda Sultra turun tangan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Ada indikasi bahwa proyek ini bukan sekadar renovasi kecil, melainkan memiliki unsur gratifikasi atau bahkan potensi perusakan fasilitas negara akibat aktivitas penggalian di area perkantoran.
“Jika memang proyek ini dibiayai dengan uang negara, seharusnya ada papan informasi proyek. Jika bukan, maka harus dijelaskan dari mana asal dana tersebut. Jangan sampai ini jadi modus baru gratifikasi yang dikemas dalam bentuk gotong royong,” tegas Fajar dalam orasinya.
Persoalan ini bukan hanya tentang pembangunan taman atau kolam di lingkungan kantor dinas. Ini adalah masalah tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Jika sebuah proyek kecil saja bisa berjalan tanpa kejelasan, bagaimana dengan proyek-proyek bernilai miliaran yang lebih besar?
Kini, semua mata tertuju pada Polda Sultra. Apakah mereka akan menindaklanjuti dugaan ini? Ataukah proyek ini akan terus berjalan tanpa kejelasan hingga akhirnya tenggelam dalam banjir musim hujan berikutnya( Usman)