KENDARI, Kongkritpost.com- Perkumpulan Pengawasan Independen Indonesia (WASINDO-SULTRA) melakukan aksi demonstrasi di Kantor Gubernur dan Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara.
Aksi tersebut tidak sekadar unjuk rasa biasa—melainkan desakan keras yang dilandasi dugaan pelanggaran prinsip transparansi anggaran dan potensi tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan kolam dan taman di lingkungan Dinas Kehutanan Provinsi Sultra.
Proyek yang tengah berjalan itu dinilai janggal. Ketua Wasindo Sultra, La Ode Efendi, dengan tajam mempertanyakan absennya papan informasi proyek, yang sejatinya adalah bentuk kepatuhan terhadap asas keterbukaan publik tegas dalam orasinya Kamis (17/4/2025)
“Ketiadaan papan informasi adalah sinyal merah. Ini tidak hanya soal etika administrasi, tapi juga soal legalitas penggunaan anggaran publik,” tegas La Ode Efendi.
Bukan hanya soal papan proyek yang nihil informasi. Menurut Wasindo Sultra, proyek taman dan kolam itu patut dicurigai karena tidak diketahui sumber pendanaannya.
Bila proyek tersebut tidak berasal dari APBD/APBN, maka muncul pertanyaan besar: uang siapa yang dipakai?
“Kalau tidak pakai uang negara, maka siapa yang biayai? Jangan-jangan ini masuk kategori gratifikasi,” tambah Efendi.
Dalam konteks hukum, gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 12B Ayat (1), menyebut bahwa pemberian dalam bentuk apapun kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tanpa izin resmi dapat dikategorikan sebagai suap terselubung.
Selain itu, penggalian tanah dalam area perkantoran juga dianggap sebagai tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 50 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa perusakan atau penggunaan tanpa hak atas barang milik negara adalah tindakan pidana.
Dalam orasinya yang disampaikan di dua titik vital pemerintahan Sultra, Wasindo mengajukan empat tuntutan keras:
Mendesak Gubernur Sultra, ASR, untuk mencopot dan mencabut SK Plt Kadis Kehutanan.
Meminta Gubernur untuk tidak “memelihara” oknum yang diduga pelaku korupsi.
Mendesak Polda Sultra agar tidak bermain mata dalam penanganan kasus ini.
Menuntut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberi penjelasan tertulis soal proyek tersebut.
La Ode Efendi menekankan bahwa pengawasan publik tidak boleh dilemahkan, dan integritas anggaran adalah harga mati dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada good governance.
Proyek taman yang seharusnya menjadi ruang hijau kini justru menjadi lahan konflik baru antara publik dan otoritas.
Ini bukan sekadar kolam dan taman biasa—tapi ujian terhadap komitmen pemerintahan ASR dalam menegakkan transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum di Bumi Anoa.
Apakah ini awal dari terungkapnya jaringan praktik ilegal di balik meja dinas? Ataukah hanya persoalan administratif belaka?
WASINDO-SULTRA sudah menyalakan alarm. Kini giliran penegak hukum dan Gubernur menjawabnya( Usman)