KENDARI, Kongkritpost.com- Proyek pembangunan taman dan kolam di Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi sorotan publik. Ketua Perkumpulan Pengawasan Independen Indonesia (Wasindo Sultra), La Ode Efendi, SH, bersama timnya, kembali mempertayakan Laporan dugaan kejanggalan proyek tersebut ke Polda Sultra. Laporan resmi ini teregistrasi dengan nomor TBL/121/II/2025/Ditreskrimsus Polda Sultra pada Senin, 3 Maret 2025.
Proyek ini dicurigai tidak transparan karena tidak memiliki papan informasi proyek. menurut La Ode Efendi, situasi ini memunculkan dugaan kuat adanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). “Kami melihat ada kejanggalan, terutama terkait sumber anggaran dan durasi pengerjaan. Ketidaktransparan ini menimbulkan tanda tanya besar,” tegasnya.
La Ode Efendi bahkan mengibaratkan proyek ini seperti “bayangan di tengah hutan” ada tetapi sulit dilihat asal-usulnya.
“Tidak ada papan informasi proyek, tidak jelas anggarannya, nilai kontraknya pun misterius. Ini jelas melanggar prinsip keterbukaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” katanya.
Ketika awak media mencoba mengonfirmasi Plt Kepala Dinas Kehutanan Sultra, mereka hanya diarahkan ke staf biasa yang justru memberikan jawaban tidak masuk akal.
“Kalau bangun rumah bapak ada papan proyek, kah?” tanya staf tersebut, seolah-olah menyamakan proyek pemerintah dengan proyek pribadi.
Staf tersebut juga berdalih bahwa proyek ini hanyalah kegiatan membersihkan dan membenahi taman, bukan membangun.
“Ini bukan proyek besar, hanya gotong royong karena kantor sering kebanjiran,” katanya tanpa merinci lebih lanjut.
Lebih aneh lagi, saat ditanya mengenai total anggaran yang terkumpul dari gotong royong, staf tersebut mengaku tidak tahu.
“Ada yang sumbang batu, pasir, semen, bahkan uang. Tapi jumlahnya saya tidak tahu,” ucapnya, menambah daftar panjang kejanggalan dalam proyek ini.
*Proyek Besar dengan Dalih Gotong Royong?*
Mengklaim bahwa proyek ini dilakukan secara gotong royong semakin mengundang kecurigaan. Apalagi, proyek yang melibatkan penggalian tanah hingga menyerupai kolam besar jelas membutuhkan biaya dan perencanaan yang matang.
“Penggalian tanah yang luas ini sudah termasuk perusakan fasilitas negara,” tegas La Ode Efendi.
Wasindo Sultra mendesak Ditreskrimsus Polda Sultra untuk segera melakukan penyelidikan mendalam.
“Kami minta pejabat terkait dipanggil dan diperiksa untuk mengklarifikasi sumber dana. Jangan sampai proyek ini hanya kedok untuk menyembunyikan penyimpangan anggaran,” pungkasnya.
Proyek pemerintah seharusnya menjadi contoh dalam penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun, kasus ini menunjukkan indikasi sebaliknya. Jika memang proyek ini murni gotong royong, kenapa sulit untuk membuka informasi jumlah anggaran dan siapa saja yang terlibat dalam pendanaannya?
Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang logis dan transparan. Jika tidak, publik akan terus bertanya-tanya, apakah proyek taman dan kolam ini benar-benar untuk kepentingan bersama atau hanya sekadar “taman bermain” oknum-oknum tertentu( Usman)